MAKALAH
KIMIA PANGAN
” REAKSI
REAKSI PADA PROTEIN “
Di susun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah KIMIA PANGAN
Oleh :
GABELLA ARIESTA 1333010023
SHELLY
KURNIAWATI 1333010026
TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “Veteran”
JAWA TIMUR
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Protein (akar kata protos dari
bahasa Yunani yang berarti "yang paling utama") adalah senyawa
organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan polimer dari
monomer-monomer asam amino yang dihubungkan satu sama lain dengan ikatan
peptida. Molekul protein mengandung karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen dan
kadang kala sulfur serta fosfor. Protein berperan penting dalam struktur dan
fungsi semua sel makhluk hidup dan virus.
Kebanyakan protein merupakan enzim
atau subunit enzim. Jenis protein lain berperan dalam fungsi struktural atau
mekanis, seperti misalnya protein yang membentuk batang dan sendi sitoskeleton.
Protein terlibat dalam sistem kekebalan (imun) sebagai antibodi, sistem kendali
dalam bentuk hormon, sebagai komponen penyimpanan (dalam biji) dan juga dalam
transportasi hara. Sebagai salah satu sumber gizi, protein berperan sebagai
sumber asam amino bagi organisme yang tidak mampu membentuk asam amino tersebut
(heterotrof).
Protein merupakan salah satu dari
biomolekul raksasa, selain polisakarida, lipid, dan polinukleotida, yang
merupakan penyusun utama makhluk hidup. Selain itu, protein merupakan salah
satu molekul yang paling banyak diteliti dalam biokimia. Protein ditemukan oleh
Jöns Jakob Berzelius pada tahun 1838.
Biosintesis protein alami sama
dengan ekspresi genetik. Kode genetik yang dibawa DNA ditranskripsi menjadi
RNA, yang berperan sebagai cetakan bagi translasi yang dilakukan ribosom.
Sampai tahap ini, protein masih "mentah", hanya tersusun dari asam
amino proteinogenik. Melalui mekanisme pascatranslasi, terbentuklah protein
yang memiliki fungsi penuh secara biologi.
Kebutuhan protein bisa diperoleh
dari 2 sumber bahan pangan yaitu protein hewani dan protein nabati. Sumber
terbaik protein hewani adalah daging dari mamalia, unggas, dan ikan laut.
Sedangkan sumber terbaik dari protein nabati adalah dari kacang-kacangan.
Bahkan dengan kemajuan teknologi, kini banyak dikembangkan sumber protein baru
yang dikenal dengan protein non-konvensional seperti protein daun, protein
konsentrat dan protein sel tunggal.
1.2. Rumusan Masalah
1.
Reaksi apa yang terjadi pada protein?
2.
Bagaimana proses Denaturasi protein pada daging ?
1.3.
Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk memberikan penjelasan mengenai “ Reaksi
reaksi Kimia Pangan pada protein “
1.4.
Manfaat Hasil Penulisan
Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat memberikan
wawasan dan pengetahuan yang luas kepada kita, agar kita bisa mengetahui
bagaimana pentingnya mengkonsumsi protein bagi kesehatan dan gizi
masyarakat secara umum
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Struktur Protein
Protein yang
tersusun dari rantai asam amino akan memiliki berbagai macam struktur yang khas
pada masing-masing protein. Karena protein disusun oleh asam amino yang berbeda
secara kimiawinya, maka suatu protein akan terangkai melalui ikatan peptida dan
bahkan terkadang dihubungkan oleh ikatan sulfida. Selanjutnya protein bisa
mengalami pelipatan-pelipatan membentuk struktur yang bermacam-macam. Adapun
struktur protein meliputi struktur primer, struktur sekunder, struktur tersier,
dan struktur kuartener.
Struktur primer merupakan struktur yang
sederhana dengan urutan-urutan asam amino yang tersusun secara linear yang
mirip seperti tatanan huruf dalam sebuah kata dan tidak terjadi percabangan
rantai (Gambar 4). Struktur primer terbentuk melalui ikatan antara gugus
α–amino dengan gugus α–karboksil (Gambar 3). Ikatan tersebut dinamakan ikatan
peptida atau ikatan amida (Berg et al., 2006; Lodish et al., 2003).
Struktur ini dapat menentukan urutan suatu asam amino dari suatu polipeptida
(Voet & Judith, 2009).
Struktur sekunder merupakan kombinasi antara
struktur primer yang linear distabilkan
oleh ikatan hidrogen antara gugus =CO dan =NH di sepanjang tulang belakang
polipeptida. Salah satu contoh struktur sekunder adalah α-heliks dan β-pleated
(Gambar 5 dan 6). Struktur ini memiliki segmen-segmen dalam polipeptida yang terlilit atau terlipat secara berulang.
(Campbell et al., 2009; Conn, 2008).
Struktur
α-heliks terbentuk antara masing-masing atom oksigen karbonil pada suatu ikatan
peptida dengan hidrogen yang melekat ke gugus amida pada suatu ikatan peptida empat
residu asam amino di sepanjang rantai polipeptida (Murray et al, 2009).
Pada
struktur sekunder β-pleated terbentuk melalui ikatan hidrogen antara daerah
linear rantai polipeptida. β-pleated ditemukan dua macam bentuk, yakni
antipararel dan pararel (Gambar 4 dan 5). Keduanya berbeda dalam hal pola
ikatan hidrogennya. Pada bentuk konformasi antipararel memiliki konformasi
ikatan sebesar 7 Å, sementara konformasi pada bentuk pararel lebih pendek yaitu
6,5 Å (Lehninger et al, 2004). Jika ikatan hidrogen ini dapat terbentuk
antara dua rantai polipeptida yang terpisah atau antara dua daerah pada sebuah
rantai tunggal yang melipat sendiri yang melibatkan empat struktur asam amino,
maka dikenal dengan istilah β turn yang ditunjukkan dalam Gambar 6 (Murray et
al, 2009).
Struktur tersier dari suatu protein adalah
lapisan yang tumpang tindih di atas pola struktur sekunder yang terdiri atas
pemutarbalikan tak beraturan dari ikatan antara rantai samping (gugus R)
berbagai asam amino (Gambar 7). Struktur ini merupakan konformasi tiga dimensi
yang mengacu pada hubungan spasial antar struktur sekunder. Struktur ini
distabilkan oleh empat macam ikatan, yakni ikatan hidrogen, ikatan ionik,
ikatan kovalen, dan ikatan hidrofobik. Dalam struktur ini, ikatan hidrofobik
sangat penting bagi protein. Asam amino yang memiliki sifat hidrofobik akan
berikatan di bagian dalam protein globuler yang tidak berikatan dengan air,
sementara asam amino yang bersifat hodrofilik secara umum akan berada di sisi
permukaan luar yang berikatan dengan air di sekelilingnya (Murray et al,
2009; Lehninger et al, 2004).
Struktur kuarterner adalah
gambaran dari pengaturan sub-unit atau promoter protein dalam ruang. Struktur
ini memiliki dua atau lebih dari sub-unit protein dengan struktur tersier yang
akan membentuk protein kompleks yang fungsional. ikatan yang berperan dalam
struktur ini adalah ikatan nonkovalen, yakni interaksi elektrostatis, hidrogen,
dan hidrofobik. Protein dengan struktur kuarterner sering disebut juga dengan
protein multimerik. Jika protein yang tersusun dari dua sub-unit disebut dengan
protein dimerik dan jika tersusun dari empat sub-unit disebut dengan protein
tetramerik (Gambar 8) (Lodish et al., 2003; Murray et al, 2009).
Efek Pengolahan Terhadap Protein
Dari semua proses pengolahan bahan
pangan, yang paling sering digunakan adalah pemanasan. Pemanasan protein dapat
menyebabkan terjadinya reaksi-reaksi baik yang diharapkan maupun yang tidak
diharapkan. Reaksi-reaksi tersebut diantaranya denaturasi, kehilangan aktivitas
enzim, perubahan kelarutan dan hidrasi, perubahan warna, derivatisasi residu
asam amino, cross-linking, pemutusan ikatan peptida, dan pembentukan senyawa
yang secara sensori aktif. Reaksi ini dipengaruhi oleh suhu dan lama pemanasan,
pH, adanya oksidator, antioksidan, radikal, dan senyawa aktif lainnya khususnya
senyawa karbonil. Beberapa reaksi yang tidak diinginkan dapat dikurangi.
Penstabil seperti polifosfat dan sitrat akan mengikat Ca2+, dan ini
akan meningkatkan stabilitas panas protein whey pada pH netral. Laktosa
yang terdapat pada whey pada konsentrasi yang cukup dapat melindungi protein
dari denaturasi selama pengeringan semprot (spray drying).
a.
Denaturasi
Denaturasi
protein merupakan
suatu proses perubahan struktur molekul tanpa adanya pemutusan ikatan kovalen.
Dalam proses ini, terjadi pemecahan ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik,
ikatan garam dan terbukanya lipatan molekul protein (Sumardjo, 2006). Ada dua
macam denaturasi, yaitu pengembangan rantai peptida dan pemecahan protein
menjadi unit yang lebih kecil tanpa disertai pengembangan molekul ikatan.
Ikatan yang dipengaruhi oleh proses denaturasi adalah:
1. Ikatan Hidrogen
2. Ikatan Hidrofobik
3. Ikatan Ionik
4. Ikatan Intramolekuler
Denaturasi
protein mengakibatkan turunnya kelarutan, peningkatan
viskositas, hilangnya aktifitas biologi dan protein mudah diserang enzim
proteolitik (Oktavia, 2007). Peningkatan vikositas pada protein yang
terdenaturasi akan berpengaruh pada penurunan kelarutan di dalam cairan yang menyebabkan
protein menjdi mudah mengendap. Denaturasi juga menyebabkan protein kehilangan
karakteristik struktural dan beberapa kandungan senyawa di dalamnya, namun
struktur utama protein seperti C, H, O dan N tidak akan berubah. Namun hal
tersebut hanya terjadi pada sebagian kecil jenis protein.
Bila susunan ruang atau rantai
polipeptida suatu molekuk protein berubah, maka dapat dikatakan protein
tersebut terdenaturasi. Sebagian protein globular mudah mengalami denaturasi.
Jika ikatan – ikatan yang membentuk konfigurasi molekul tersebut rusak, molekul
akan mengembang. Kadang – kadang perubahan ini memang dikehendaki dalam
pengolahan makanan, tetapi sering pula dianggap merugikan sehingga perlu
dicegah.
Sisi merugikan dari denaturasi :
1. Protein kehilangan aktivitas
biologi
2. Pengendapan protein
3. Protein kehilangan
beberapa sifat fungsional
Sisi menguntungkan dari denaturasi:
1. Denaturasi panas pada
inhibitor tripsin dalam legum dapat meningkatkan tingkat ketercernaan dan
ketersediaan biologis protein legume
2. Protein yang
terdenaturasi sebagian lebih mudah dicerna, sifat pembentuk buih dan emulsi
lebih baik daripada protein asli
3. Denaturasi oleh panas
merupakan prasyarat pembuatan gel protein yang dipicu panas
Terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan suatu protein mengalami denaturasi antara lain :
1. pH
2. Suhu Lingkungan
3. Alkohol
4. Aliran Listrik
5. Agen Pereduksi
6. Tekanan
7. Senyawa Kimia
Macam-macam denaturasi protein :
1. Denaturasi Karena Asam Basa
Denaturasi protein dengan penambahan
asam basa ditandai dengan peningkatan kekeruhan hingga terbentuk gumpalan pada
saat mencapai pH isoelektris. pH isoelektris adalah keadaan saat protein
memiliki muatan positif dan negatif yang sama (Anna, P., 1994). Dengan adanya
muatan ionik maka asam dan basa akan merusak jembatan garam didalam protein
tersebut. Denaturasi akibat asam / basa terjadi ketika adanya penambahan kadar
asam atau basa pada garam protein yang dapat memutus kandungan struktur dari
protein tersebut karena terjadi subtitusi ion negatif dan positif pada garam
dengan ion positif dan negatif pada asam atau basa (Vladimir, 2007). Reaksi ini
terjadi di dalam sistem pencernaan, saat asam lambung mengkoagulasi susu yang
dikonsumsi.
2. Denaturasi Karena Logam Berat
Garam logam berat mendenaturasi
protein sama dengan halnya dengan asam dan basa. Garam logam berat umumnya
mengandung Hg+2, Pb+2, Ag+1Tl+1, Cd+2
dan logam lainnya dengan berat atom yang besar. Reaksi yang terjadi antara
garam logam berat akan mengakibatkan terbentuknya garam protein – logam yang
tidak larut (Ophart, C.E., 2003). Protein akan mengalami presipitasi bila
bereaksi dengan ion logam. Pengendapan oleh ion positif (logam) diperlukan pH
larutan di atas pI karena protein bermuatan negatif, pengendapan oleh ion
negatif diperlukan pH larutan di bawah pI karena protein bermuatan positif.
Ion-ion positif yang dapat mengendapkan protein adalah; Ag+, Ca++,
Zn++, Hg++, Fe++, Cu++ dan Pb++,
sedangkan ion-ion negatif yang dapat mengendapkan protein adalah; ion
salisilat, triklorasetat, piktrat, tanat dan sulfosalisilat. Denaturasi akibat
campuran logam berat pada protein, hal ini terjadi karena ikatan sulfur pada
protein tertarik oleh ikatan logam berat sehingga proses denaturasi terjadi
dengan adanya perubahan struktur kandungan senyawa pada protein tersebut saat
ion pada protein bereaksi dengan ion logam berat yang tercampur didalamnya (Vladimir.
2007)
3. Denaturasi karena Panas
Denaturasi akibat panas menyebabkan
molekul – molekul yang menyusun protein bergerak dengan sangat cepat sehingga
sifat protein yaitu hidrofobik menjadi terbuka. Akibatnya, semakin panas,
molekul akan bergerak semakin cepat dan memutus ikatan hidrogen di dalamnya
(Vladimir, 2007). Panas dapat digunakan untuk mengacaukan ikatan hidrogen dan
interaksi hidrofobik non polar. Hal ini terjadi karena suhu tinggi dapat
meningkatkan energi kinetik dan menyebabkan molekul penyusun protein bergerak
atau bergetar sangat cepat sehingga mengacaukan ikatan molekul tersebut.
Denaturasi dengan suhu panas yang dilakukan pada buah-buahan akan mengakibatkan
berkurangnya kadar air dan bertambahnya viskositas atau kekentalan kadar protein
yang tertanam pada buah yang mengalami denaturasi akibat suhu panas (Vladimir,
2007). Pemanasan akan membuat protein bahan terdenaturasi sehingga kemampuan
mengikat airnya menurun. Hal ini terjadi karena energi panas akan mengakibatkan
terputusnya interaksi non-kovalen yang ada pada struktur alami protein tapi
tidak memutuskan ikatan kovalennya yang berupa ikatan peptida. Proses ini
biasanya berlangsung pada kisaran suhu yang sempit.
4. Denatursi karena alkohol
Alkohol juga dapat mendenaturasi
protein. Alkohol seperti kita ketahui umumnya terdapat kadar 70% dan 95%.
Alkohol 70% bisa masuk ke dinding sel dan dapat mendenaturasi protein di dalam
sel. Sedangkan alkohol 95% mengkoagulasikan protein di luar dinding sel dan
mencegah alkohol lain masuk ke dalam sel melalui dinding sel. Sehingga yang
digunakan sebagai disinfektan adalah alkohol 70%. Alkohol mendenaturasi protein
dengan memutuskan ikatan hidrogen intramolekul pada rantai samping protein.
Ikatan hidrogen yang baru dapat terbentuk antara alkohol dan rantai samping
protein tersebut.
5. Agen pereduksi merusak ikatan
disulfida
Ikatan disulfida terbentuk dengan
adanya oksidasi gugus sulfhidril pada sistein. Antara rantai protein yang
berbeda yang sama-sama memiliki gugus sulfhidril akan membentuk ikatan disulfida
kovalen yang sangat kuat. Agen pereduksi dapat memutuskan ikatan disulfida,
dimana penambahan atom hidrogen sehingga membentuk gugus tiol; -SH.
b. Reaksi Maillard
Reaksi antara protein dengan gula
pereduksi merupakan sumber utama menurunnya nilai gizi protein pangan selama
pengolahan dan penyimpanan. Reaksi maillard ini dapat terjadi pada waktu
pembuatan (pembakaran) roti, produksi breakfast cereals (serpihan jagung,
beras, gandum, dll), dan pemanasan daging terutama bila terdapat bahan pangan
nabati. Pada pembakaran roti, kehilangan zat gizi yang cukup besar tersebut
terutama terjadi pada bagian yang berwarna coklat (crust) karena
terjadinya reaksi dengan gula pereduksi yang dibentuk selama proses fermentasi
tetapi tidak habis digunakan oleh khamir dari ragi roti. Meskipun gula-gula
nonreduksi (misalnya sukrosa) tidak bereaksi dengan protein pada suhu rendah,
tetapi pada suhu tinggi ternyata dapat menimbulkan reaksi maillard, yang pada
suhu tinggi terjadi pemecahan ikatan glikosidik dari sukrosa dan menghasilkan
glukosa dan fruktosa. Contoh lain adalah pada pengolahan susu sapi dengan
pemanasan karena susu merupakan bahan pangan berprotein tinggi yang juga
mengandung gula pereduksi (laktosa) dalam jumlah tinggi.
c. Pengolahan
panas yang tinggi
Pada pengolahan dengan menggunakan
panas yang tinggi, protein akan mengalami beberapa perubahan.
Perubahan-perubahan ini termasuk rasemisasi, hidrolisis, desulfurasi, dan deamidasi.
Kebanyakan perubahan kimia ini bersifat ireversibel, dan beberapa reaksi dapat
menghasilkan senyawa toksik.
1. Rasemisasi
Rasemisasi residu asam amino dapat
mengakibatkan penurunan daya cerna protein karena kurang mampu dicerna oleh
tubuh. Kerugian akan semakin besar apabila yang terasemisasi adalah asam amino
esensial. Pemanasan protein pada pH alkali dapat merusak beberapa residu asam
amino seperti Arg, Ser, Thr dan Lys. Arg terdekomposisi menjadi ornithine. Jika
protein dipanaskan pada suhu sekitar 200oC, seperti yang terjadi
pada permukaan bahan pangan yang mengalami pemanggangan, broiling, grilling,
residu asam aminonya akan mengalami dekomposisi dan pirolisis. Beberapa hasil
pirolisis yang diisolasi dari daging panggang ternyata bersifat sangat
mutagenik. Yang paling bersifat mutagenik adalah dari pirolisis residu Trp dan
Glu. Satu kelas komponen yaitu imodazo quinoline (IQ) merupakan hasil
kondensasi kreatinin, gula dan beberapa asam amino tertentu seperti Gly, Thr,
Al dan Lys, komponen ini juga toksik. Senyawa-senyawa toksik ini akan jauh
berkurang apabila pengolahan tidak dilakukan secara berlebihan (suhu lebih
rendah dan waktu yang lebih pendek).
2. Hidrolisis protein
Hidrolisis protein merupakan proses
pemutusan ikatan peptida dari protein menjadi komponen-komponen yang lebih
kecil seperti pepton, peptida dan asam amino. Hidrolisis
ikatan peptida akan menyebabkan beberapa perubahan pada protein, yaitu
meningkatkan kelarutan karena bertambahnya kandungan NH3+ dan
COO- dan berkurangnya berat molekul protein atau polipeptida, serta
rusaknya struktur globular protein.
Waktu yang digunakan untuk
hidrolisis pada ikatan peptida bergantung pada asam amino. Biasanya, ikatan
peptida antara asam amino alifatik membutuhkan waktu yang sangat lama untuk
diuraikan. Hidrolisis yang memakan waktu
24 jam pada suhu 110oC kurang mampu memecahkan ikatan
peptida. Sedangkan hidrolisis yang memakan waktu 2-3 hari mampu menguraikan
dengan sempurna isoleusin dan ikatan valin.
Ada empat cara untuk menghidrolisis protein:
1. Hidrolisis Asam
Hidrolisis dengan menggunakan asam kuat
anorganik, seperti HCl atau H2SO4 pekat (4-8 normal),
lalu dipanaskan pada suhu mendidih atau dapat dilakukan dengan tekanan di atas
satu atmosfer, selama beberapa jam. Akibat samping yang terjadi dengan
hidrolisis asam ialah rusaknya beberapa asam amino (triptofan, sebagian serin
dan threonin).
Cara lama: Protein dipanaskan dengan
6 N HCL selama 24 jam dengan suhu 110C
Cara cepat: Sampel protein
diletakkan di tabung pada wadah tertutup yang berisi 6 N HCL dgn ruang kosong
yang diisi oleh nitrogen. Wadah tersebut lalu diletakkan di oven selama 5-30
menit dengan suhu lebih dari 200C. Asam HCl akan terevaporasi dan dihidrolisasi
oleh nitrogen.
2. Hidrolisis Basa
Hidrolisis protein menggunakan basa
merupakan proses pemecahan polipeptida dengan menggunakan basa / alkali kuat,
seperti NaOH dan KOH pada suhu tinggi, selama beberapa jam, dengan tekanan di
atas satu atmosfer. Namun serin dan threonin rusak dengan basa.
3. Hidrolisis Enzimatik
Hidrolisis enzimatik dilakukan dengan
mempergunakan enzim. Dapat digunakan satu jenis enzim saja, atau beberapa jenis
enzim yang berbeda. Penambahan enzim perlu dilakukan pengaturan pada kondisi pH
dan suhu optimum.
Dibandingkan dengan hidrolisis secara
kimia (menggunakan asam atau basa), hidrolisis enzimatik lebih menguntungkan
karena tidak mengakibatkan kerusakan asam amino dan asam-asam amino bebas serta
peptida dengan rantai pendek yang dihasilkan lebih bervariasi, reaksi dapat
dipercepat kira-kira 1012 sampai 1020, tingkat
kehilangan asam amino esensial lebih rendah, biaya produksi relatif lebih murah
dan menghasilkan komposisi asam amino tertentu terutama peptida rantai pendek
(dipeptida dan tripeptida) yang mudah diabsorbsi oleh tubuh.
Salah satu cara lain untuk
menghidrolisis kandungan protein dalam suatu bahan dapat menggunakan enzim
proteolitik baik yang berasal dari bahan itu sendiri atau dengan penambahan
enzim dari luar bahan. Enzim proteolitik yang ditambahkan dapat berasal dari
hewan maupun dari tumbuhan. Menurut Reed (1975) enzim proteolitik atau enzim
protease adalah enzim yang dapat memecah molekul-molekul protein dengan cara
menghidrolisis ikatan peptida menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana
seperti proteosa, pepton, polipeptida, dipeptida dan sejumlah asam-asam amino.
4. Cross-Linking
Beberapa protein pangan mengandung cross-link
intra- dan antarmolekul, contohnya adalah ikatan disulfida pada protein
globular, di- dan trityrosine type cross-link pada protein serat seperti
keratin, elastin dan kolagen. Salah satu fungsi cross-link pada protein
alami adalah supaya tidak mudah dipecah oleh proteolisis. Pengolahan
pangan, khususnya pada pH alkali, dapat menyebabkan pembentukan cross-link
pada protein. Pembentukan ikatan kovalen antara rantai polipeptida ini
dapat menurunkan daya cerna dan ketersediaan biologisnya, khususnya yang
melibatkan asam amino esensial. Lisinoalanin adalah cross-link utama
yang umum ditemukan pada protein yang diperlakukan pada kondisi alkali, hal ini
terjadi karena ketersediaan residu lisil yang banyak terdapat dalam bahan
pangan. Pada kondisi pengolahan yang normal, pembentukan lisinoalanin
hanya sedikit, jadi tidak terlalu merugikan.
5. Oksidasi
Keberadaan senyawa pengoksidasi
dalam bahan pangan dapat berasal dari aditif seperti hidrogen peroksida dan
benzoil peroksida yang ditambahkan sebagai bakterisidal pada susu atau pemutih
pada tepung, dapat pula berasal dari radikal bebas yang terbentuk selama
pengolahan (peroksidasi lipid, fotooksidasi riboflavin, reaksi Maillard).
Selain itu, polifenol yang banyak terdapat pada bahan yang berasal dari tanaman
dapat dioksidasi oleh oksigen pada pH netral atau alkali membentuk quinon
sehingga terbentuk peroksida. Senyawa-senyawa pengoksidasi ini dapat
menyebabkan oksidasi beberapa residu asam amino dan menyebabkan polimerisasi
protein. Residu asam amino yang rentan terhadap reaksi oksidasi adalah
Met, Cys/cystine, Trp dan His, dan yang agak rentan yaitu Tyr. Oksidasi lipid
tidak jenuh menghasilkan radikal alkoksi dan peroksi. Radikal-radikal
yang terbentuk ini dapat bereaksi dengan protein, membentuk radikal bebas
lipidprotein. Radikal bebas lipid-protein terkonyugasi ini selanjutnya dapat
mengalami polimerisasi cross-linking protein. Sebagai tambahan,
radikal bebas lipid dapat menginduksi pembentukan radikal bebas pada rantai
samping sistein dan histidin yang kemudian akan mengalami reaksi cross-linking
dan polimerisasi. Peroksida lipid dalam bahan pangan akan terdekomposisi
menghasilkan aldehid, keton dan khususnya malonaldehid. Senyawa-senyawa
karbonil ini akan bereaksi dengan gugus amino protein melalui reaksi
amino-karbonil dan pembentukan basa Schiff. Reaksi malonaldehid dengan rantai
samping lisil akan mengakibatkan crosslinking dan polimerisasi protein.
Reaksi ini berakibat pada turunnya nilai gizi protein dan dapat menimbulkan off-flavour.
6. Reaksi Dengan
Nitrit
Reaksi nitrit dengan amin sekunder,
dan pada beberapa kasus dengan amin primer dan tersier, dapat membentuk
N-nitrosoamin, senyawa yang bersifat karsinogenik. Nitrit biasanya
ditambahkan pada produk daging untuk mempertahankan warna dan mencegah
pertumbuhan bakteri. Asam amino (atau residu) yang terlibat dalam reaksi
ini terutama Pro, His, Trp. Arg dan Cys juga dapat bereaksi dengan
nitrit. Reaksi ini terutama terjadi pada suasana asam dan suhu
tinggi. Amin sekunder yang dihasilkan dari reaksi Maillard, seperti
produk Amadori dan Heyns, juga dapat bereaksi dengan nitrit. Pembentukan
N-nitrosoamin pada pemasakan, grilling dan broiling daging telah
menjadi perhatian karena dampaknya yang dapat menghasilkan senyawa
karsinogenik. Usaha untuk mengurangi pembentukan senyawa karsinogenik ini
dapat dilakukan dengan penambahan aditif lain seperti asam askorbat dan
eritorbat.
Metode
Analisa Protein secara kuantitatif :
1. Metode Lowry
Metode Lowry merupakan pengembangan
dari metode Biuret. Dalam metode ini terlibat 2 reaksi. Awalnya, kompleks
Cu(II)-protein akan terbentuk sebagaimana metode biuret, yang dalam suasana
alkalis Cu(II) akan tereduksi menjadi Cu(I). Ion Cu+ kemudian
akan mereduksi reagen Folin-Ciocalteu, kompleks phosphomolibdat -
phosphotungstat, menghasilkan heteropoly -molybdenum blue akibat
reaksi oksidasi gugus aromatik (rantai samping asam amino) terkatalis Cu, yang
memberikan warna biru intensif yang dapat dideteksi secara kolorimetri.
Kekuatan warna biru terutama bergantung pada kandungan residu tryptophan
dan tyrosine-nya. Keuntungan metode Lowry adalah lebih sensitif (100 kali)
daripada metode Biuret sehingga memerlukan sampel protein yang lebih sedikit.
Batas deteksinya berkisar pada konsentrasi 0.01 mg/mL. Namun metode Lowry lebih
banyak interferensinya akibat kesensitifannya (Lowry, dkk, 1951).
Beberapa zat yang bisa mengganggu
penetapan kadar protein dengan metode Lowry ini, diantaranya buffer, asam
nuklet, gula atau karbohidrat, deterjen, gliserol, Tricine, EDTA, Tris,
senyawa-senyawa kalium, sulfhidril, disulfida, fenolat, asam urat, guanin,xanthine,
magnesium, dan kalsium. Interferensi agen-agen ini dapat diminimalkan dengan
menghilangkan interferensi tersebut. Oleh karena itu dianjurkan untuk
menggunakan blanko untuk mengkoreksi absorbansi. Interferensi yang disebabkan
oleh deterjen, sukrosa dan EDTA dapat dieliminasi dengan penambahan SDS atau
melakukan preparasi sampel dengan pengendapan protein (Lowry dkk 1951).
Metode Lowry-Folin hanya dapat
mengukur molekul peptida pendek dan tidak dapat mengukur molekul peptida
panjang. Prinsip kerja metode Lowry adalah reduksi Cu2+ (reagen Lowry B)
menjadi Cu+ oleh tirosin, triptofan, dan sistein yang terdapat dalam protein.
Ion Cu+ bersama dengan fosfotungstat dan fosfomolibdat (reagen Lowry E)
membentuk warna biru, sehingga dapat menyerap cahaya (Lowry dkk 1951).
2. Spektrofotometri
Spektrofotometri merupakan suatu
metoda analisa yang didasarkan pada pengukuran serapan sinar monokromatis oleh
suatu lajur larutan berwarna pada panjang gelombamg spesifik dengan menggunakan
monokromator prisma atau kisi difraksi dengan detektor fototube (Yoky,
2009).
Spektrofotometer adalah alat untuk
mengukur transmitan atau absorban suatu sampel sebagai fungsi panjang
gelombang. Sedangkan pengukuran menggunakan spektrofotometer ini, metoda yang
digunakan sering disebut dengan spektrofotometri. Spektrofotometer dapat
mengukur serapan di daerah tampak, UV (200-380 nm) maupun IR (> 750 nm) dan
menggunakan sumber sinar yang berbeda pada masing-masing daerah (sinar tampak,
UV, IR). Monokromator pada spektrofotometer menggunakan kisi atau
prisma yang daya resolusinya lebih baik
sedangkan detektornya menggunakan tabung penggandaan foton atau fototube
(Yoky, 2009).
Komponen utama dari
spektrofotometer, yaitu sumber cahaya, pengatur Intensitas, monokromator,
kuvet, detektor, penguat (amplifier), dan indikator.Spektrofotometri dapat
dianggap sebagai perluasan suatu pemeriksaan visual dengan studi yang lebih
mendalam dari absorbsi energi. Absorbsi radiasi oleh suatu sampel diukur pada
berbagai panjang gelombangdan dialirkan oleh suatu perkam untuk menghasilkan
spektrum tertentu yang khas untuk komponen yang berbeda (Yoky, 2009).
3. Metode
Kjeldahl
Metode Kjeldahl merupakan
salah satu dari uji kadar protein yang memiliki tingkat kepercayaan lebih
tinggi dalam menentukan kandungan nirogen (N) dalam susu. Kelebihan metode ini
adalah sederhana, akurat, dan universal juga mempunyai kebolehulangan (Reproducibility)
yang cukup baik, akan tetapi metode ini bukannya tidak memiliki kekurangan.
Kekurangan metode ini adalah memakan waktu lama (Time Consuming),
membutuhkan biaya besar dan ketermpilan tekhnis tinggi (Juiati dan Sumardi,
1981)
4. Metode
Turbodimetri
Menurut Moulyono (2007 :891)
turbodimetri merupakan analisis berdasarkan pengukuran berkurangnya kekuatan
sinar melalui larutan yang mengandung partikel tersuspensi. Kekeruhan akan
terbentuk dalam larutan yang mengandung protein apabila ditambahkan bahan
pengendap protein misalnya TCA, K4Fe(CN)6 atau asam sulfosalisilat. Tingkat
kekeruhan diukur dengan alat turbidimeter.
Turbiditas merupakan sifat optik
akibat dispersi sinar dan dapat dinyatakan sebagai perbandingan cahaya yang
dipantulkan terhadap cahaya yang tiba. Intensitas cahaya yang dipantulkan oleh
suatu suspensi adalah fungsi konsentrasi jika kondisi-kondisi lainnya konstan.
Metode pengukuran turbiditas dapat dikelompokkan dalam tiga golongan. Yaitu
pengukuran perbandingan intensitas cahaya yang dihamburkan terhadap intensitas
yang datang; pengukuran efek ekstingsi, yaitu kedalaman di mana cahaya yang
mulai tidak tampak di dalam lappisan medium yang keruh. Instrumen pengukuran
perbandingan tyndall disebut sebagai tyndall meter. Dalam instrumen ini
intensitas diukur secara langsung. Sedangkan pada nefelometer, intensitas
cahaya diukur dengan larutan standar. Turbidineter mliputi pengukuran cahaya
yang diteruskan. Turbiditas berbandinglurus terhadap konsentrasi dan ketebalan,
tetapi turbiditas tergantung juga pada warna. Untuk partikel yang lebih kecil,
rasio tyndall sebanding dengan pangkat tiga dari ukuran partikel dan berbanding
terbalik terhadap pangkat empat panjang gelombang (Khopkhar,2003 : 7)
5. Metode
Titrasi Formol
Larutan protein dinetralkan dengan
basa (NaOH) lalu ditambahkan formalin akan membentuk dimethilol. Dengan
terbentuknya dimethilol ini berarti gugus aminonya sudah terikat dan tidak akan
mempengaruhi reaksi antara asam dengan basa NaOH sehingga akhir titrasi dapat
diakhiri dengan tepat. Indikator yang digunakan adalah p.p., akhir titrasi bila
tepat terjadi perubahan warna menjadi merah muda yang tidak hilang dalam 30
detik.
BAB
III
PEMBAHASAN
Protein adalah polimer biologi yang
tersusun atas molekul-molekul kecil (asam amino). Rentang massa molekul protein
berkisar dari 6.000 hingga puluhan ribu. Selain tersusun atas asam amino,
banyak protein juga mengandung komponen lain seperti ion logam (misalnya Fe2+,
Zn2+, Cu2+, dan Mg2+) atau mengandung molekul
organik kompleks, biasanya turunan dari vitamin.
Berikut
merupakan reaksi reaksi pada protein :
Protein
daging terdiri dari protein sederhana dan protein terkonjugasi. Berdasarkan
asalnya protein dapat dibedakan dalam 3 kelompok yaitu protein sarkoplasma,
protein miofibril, dan protein jaringan ikat. Protein sarkoplasma
adalah protein larut air karena umumnya dapat diekstrak oleh air dan larutan
garam encer. Protein miofibril terdiri atas aktin dan miosin, serta
sejumlah kecil troponin dan aktinin. Protein jaringan ikat ini memiliki
sifat larut dalam larutan garam. Protein jaringan ikat merupakan fraksi protein
yang tidak larut, terdiri atas protein kolagen, elastin, dan retikulin
(Muchtadi & Sugiono 1992). Secara umum, komposisi kimia daging terdiri atas
70% air, 20% protein, 9% lemak dan 1% abu. Jumlah ini akan berubah bila hewan
digemukkan yang akan menurunkan persentase air dan protein serta meningkatkan
persentase lemak (Romans et al. 1994).
Perubahan Sifat Kimia Protein Pada Daging Selama Proses Pengolahan
Pengolahan
pada bahan makanan khususnya daging melibatkan proses pemanasan, pendinginan,
pengeringan, serta penambahan bahan kimia. Ada pula yang melibatkan fermentasi,
radiasi, dan perlakuan-perlakuan lainnya. Tetapi, proses pemanasan lah yang
merupakan proses yang paling banyak diterapkan dan dipelajari di lingkungan
sekitar kita ini.
Menurut
Purnomo (1997) pengolahan daging dengan menggunakan suhu tinggi akan
menyebabkan denaturasi protein sehingga terjadi koagulasi dan menurunkan
solubilitas atau daya kemampuan larutnya akan menurun. Proses pemasakan cepat
akan membuat daging menjadi liat karena selama pemanasan terjadi denaturasi
protein dan denaturasi collagen, yang diikuti dengan penyusutan dan penegangan
jaringan ikat, sehingga daging menjadi liat. Peliatan terjadi saat
protein mengalami denaturasi pada suhu 50-80ºC. Denaturasi pertama terjadi pada
suhu 45ºC yaitu denaturasi miosin dengan adanya pemendekan pada otot.
Denaturasi maksimal terjadi pada suhu 50-55ºC atau biasa disebut Aktomiosin dan
protein sarkoplasma pada 55-65ºC (Davidek et al., 1990).
Dari nilai
gizinya denaturasi parsial protein sering meningkatkan daya cerna dan
ketersediaan biologisnya. Pemanasan yang moderat akan meningkatkan daya cerna
protein tanpa menghasilkan senyawa toksik, juga dapat menginaktivasi beberapa
enzim 9 protease, lipase, lipoksigenase, amilase, polifenoloksidase,
enzim oksidatif dan hidrolitik lainnya. Jika gagal menginaktivasi enzim-enzim
ini maka akan mengakibatkan off flavour, ketengikan, perubahan tekstur, dan
perubahan warna bahan pangan selama penyimpanan. Oleh karena itu, sering
dilakukan inaktivasi enzim dengan menggunakan pemanasan sebelum penghancuran.
Perlakuan panas yang moderat juga berguna untuk menginaktivasi beberapa faktor
antinutrisi seperti enzim antitripsin dan pektin (Fennema, 1996).
Perubahan
tekstur pada daging yang memiliki jaringan ikat (collagen) yang banyak selama
proses pemanasan yang diperpanjang disebabkan oleh perubahan collagen menjadi
gelatin selama pemanasan. Faktor lain pada perubahan tekstur daging adalah
waktu pemanasan, suhu, dan jumlah collagen yang ada pada daging. Proses
pengempukan atau collagen terhidrolisa menjadi gelatin terjadi bila suhu
pemasakan mencapai lebih dari 75ºC. Hal ini dapat dilihat pada steak sirloin
yang kandungan jaringan ikatnya sedikit dan biasanya dimasak dengan cara
dipanggang/grill akan menjadi agak liat karena waktu untuk memasaknya tidak
terlalu lama sehingga suhu dimana collagen menjadi empuk tidak tercapai dan
myofibriliar akan menjadi liat (Feiner, G., 2006). Selain itu Boulton &
Harris (1972) menyatakan bahwa kemampuan yang dimiliki oleh daging dalam
mengikat air selama daging mendapat pengaruh kekuatan dari luar, seperti
tekanan, pemanasan, penggilingan dan pemotongan daging disebut dengan daya ikat
air atau water holding capacity (WHC). Penurunan WHC pada pemanasan
mencapai suhu 80°C berhubungan dengan berkurangnya grup asidik. Hilangnya grup
asidik akan meningkatkan pH daging, sehingga titik isoelektrik daging berubah
dan berada pada pH yang lebih tinggi. Soeparno (2005) mengemukakan bahwa daya
ikat air dipengaruhi oleh bangsa, proses rigormortis, temperatur, kelembaban,
pelayuan daging, tipe dan lokasi otot, fungsi otot, pakan dan lemak
intramuskuler
Lama
pemasakan juga mempengaruhi nilai pH daging dan menyebabkan menyebabkan proses
denaturasi protein daging. Penurunan pH akan mempengaruhi sifat fisik daging.
Laju penurunan pH otot yang cepat akan mengakibatkan rendahnya kapasitas
mengikat air, karena meningkatnya kontraksi aktomiosin yang terbentuk, dengan
demikian akan memeras cairan keluar dari dalam daging. Suhu tinggi juga dapat
mempercepat penurunan pH otot pascamortem dan menurunkan kapasitas mengikat air
karena meningkatnya denaturasi protein otot dan meningkatnya perpindahan air ke
ruang ekstraseluler (Lawrie, 1995).
BAB
IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Ø Protein
merupakan senyawa makro-molekul yang terdiri atas sejumlah asam amino yang dihubungkan
oleh ikatan peptida.
Ø Manfaat alfa
protein antara lain :
Meningkatkan daya cerna protein sehingga mudah
diserap tubuh.
Menurunkan
risiko terjadinya intoleransi karena protein susu.
Sumber
asam amino (pembentuk protein) untuk membantu tumbuh kembang bayi dan anak.
Membantu
meringankan kerja ginjal untuk mencerna protein.
Membantu
meningkatkan bakteri baik dalam saluran pencernaan dan bias membantu mengurasi
risiko terjadinya infeksi karena bakteri.
Ø Protein
memilki keuntungan diantaranya yaitu, Sumber energi, Pembetukan dan perbaikan
sel dan jaringan, Sebagai sintesis hormon,enzim, dan antibody dan Pengatur
keseimbangan kadar asam basa dalam sel
Ø Disamping
itu protein juga memilki kerugian yang dapat berakibat fatal misalnya, Kerontokan rambut, busung lapar, kurangan yang terus
menerus menyebabkan marasmus dan berkibat kematian.
SARAN
Diharapkan kepada pembaca agar memberikan kritikan dan saran yang membangun
guna menyempurnakan makalah ini dan juga untuk menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan kita. Semoga dengan adanya makalah ini bisa berguna untuk kita
semua.
DAFTAR PUSTAKA
Winarno F.G.1997. Kimia Pangan dan Gizi.
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Sukmanawati, W. 2009. Kimia 3 : Untuk SMA/ MA Kelas XII. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, p. 266.
Sunarya, Y. dan A. Setiabudi. 2009.
Mudah dan Aktif Belajar Kimia 3 : Untuk Kelas XII Sekolah Menengah Atas /
Madrasah Aliyah. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, p.
298.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar