Rabu, 04 Maret 2015

Reaksi-reaksi kimia pangan pada protein

Menurut http://perpustakaancyber.blogspot.com/ bahwa :

   Protein adalah polimer biologi yang tersusun atas molekul-molekul kecil (asam amino). Rentang massa molekul protein berkisar dari 6.000 hingga puluhan ribu. Selain tersusun atas asam amino, banyak protein juga mengandung komponen lain seperti ion logam (misalnya Fe2+, Zn2+, Cu2+, dan Mg2+) atau mengandung molekul organik kompleks, biasanya turunan dari vitamin.
1. Asam Amino
Asam amino adalah molekul yang mengandung gugus amino (–NH2) dan gugus karboksil (–COOH). Asam amino disebut juga asam α-amino yang merupakan monomer dari protein (polipeptida). Struktur umum asam amino ditunjukkan pada Gambar 1.
 
 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgCSwu8tZYJUaUxER8JOBKG_sG7oCMDmMqSzVfmj1Q0TuFf2BhBTXhLTbANakchTIzzDcb4wtmtHTxNSKLLiu8wKkqoiqn2KYfUXQsDxnGw2qzUStjae34h4Wic3_eARXatxU-YpAQlXOJm/s1600/asam-amino-3102013.jpg
Di dalam protein, asam-asam amino diikat bersama melalui ikatan peptida, yaitu ikatan C–N hasil reaksi kondensasi antara gugus karboksil dengan gugus amino dari asam amino lain. Perhatikan reaksi kondensasi berikut.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgU57MZ5lE2F9iHsxkBOP1E9DIfUuc88iiGeGk9FGDG3kGspz-REX7Ob-l_lYHTGBFZgyqe7QiDxVromYZuEY_ZGxFZrul-FrBcrMsZSn5NOxVYZRfDQqzHPgSwVy6sDbojOwMr8dX543AN/s1600/ikatan-peptida-asam-amino-3102013.jpg
Reaksi tersebut merupakan contoh dipeptida, yaitu molekul yang dibentuk melalui ikatan peptida dari dua asam amino. Suatu polipeptida (protein) adalah polimer yang dibentuk oleh sejumlah besar asam amino melalui ikatan peptida membentuk rantai polimer.
Terdapat 20 macam asam amino yang ditemukan pada protein. Setiap asam amino berbeda dalam hal gugus R, atau rantai samping. Rantai samping menentukan sifat-sifat asam amino.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhzqkZihScTnEIVOK2ZAwE3w09zp8RKkc6WJARhDXdM5QfmgIejJNzFsSyg0JNGFq6xBeULwla5KDEkGRSaGEpnkWrIdfOSg5r_ANWT8dH-J_zU9WhYZpnPuFnzBDK5TOj9MfQe828pdwMc/s1600/macam-macam-asam-amino-3102013.jpg
Nama-nama asam amino lebih dikenal dengan nama trivial daripada nama sistematisnya (IUPAC) sebab lebih sederhana dan mudah diingat. Singkatan nama asam amino diambil tiga huruf dari nama asam amino. Sembilan dari asam amino bersifat nonpolar dan asam amino lainnya bersifat polar sehingga dapat terionisasi atau membentuk ikatan hidrogen dengan asam amino lain atau dengan air. Terdapat sepuluh macam asam amino esensial (asam amino yang dibutuhkan oleh tubuh dan tidak dapat disintesis oleh tubuh, tetapi harus dikonsumsi dari makanan). Kesepuluh asam amino tersebut, yaitu valin, leusin, isoleusin, lisin, histidin, fenilalanin, triftofan, treonin, metionin, dan arginin (hanya diperlukan oleh anak-anak yang sedang tumbuh).
Tabel 1. Komposisi Unsur dalam Kuning Telur
Unsur
C
H
N
O
S
Persentase (%)
50–55
7–8
15–19
19–24
0–2,5
2. Struktur dan Bentuk Protein
Struktur protein dapat dikelompokkan menjadi empat golongan, yaitu struktur primer, sekunder, tersier, dan kuarterner. Struktur primer adalah struktur linear dari rantai protein. Dalam struktur ini tidak terjadi antaraksi, baik dengan rantai protein yang lain maupun di antara asam amino dalam rantai protein itu sendiri.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiMhaJ2dxE5M9GqjZ_JY9g054Jbz_ZlJ3m3x5blOI3PGIbfn18wxWuKVp-l1pRfF5vKcFAqco_INxzzaNA24krbRRFJZC_9AW2RVEtc75fTr3nRD7AKifyMcCOhKGJQvxnSON85ijkeMQk8/s1600/Struktur-primer-dari-protein-3102013.jpg
Struktur sekunder adalah struktur dua dimensi dari protein. Pada struktur ini terjadi lipatan (folding) beraturan, seperti α–heliks dan β–sheet, akibat adanya ikatan hidrogen di antara gugus-gugus polar dari asam amino dalam rantai protein.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjeepw56kvkWFx2HmPLzeYGx81Nm3CNuR9T3NruUXMV9OpBdY3mTGJlsAREKmOA_hQ9YqwBy9a5EEyVAeMqlos1taKhTfFfQFBG1ChCXCD243GRfNfjPw74ZK6R3Tbm7PUnr4DvWBrLCznJ/s1600/Struktur-sekunder-protein-3102013.jpg
Struktur tersier merupakan struktur tiga dimensi sederhana dari rantai protein. Dalam struktur ini, selain terjadi folding membentuk struktur α–heliks dan β–sheet, juga terjadi antaraksi van der Waals dan antaraksi gugus nonpolar yang mendorong terjadi lipatan.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgU6zGELS2CeGNV18lj4a1WEnfpBwmL9sFB1w2iC2hFDriv136BMma2D4pjPZz9ZHo4FNAFanzpARo9mpJnpJ0MD9OHqAxH2CbkR_3GjcyaTmuxWGo9fAi4Bb_IdqLPMVWak98osNV7hhlG/s1600/Struktur-tersier-kuartener-dari-protein-3102013.jpg
Struktur tertinggi dari protein adalah struktur kuarterner. Dalam struktur ini, protein membentuk molekul kompleks, tidak terbatas hanya pada satu rantai protein, tetapi beberapa rantai protein bergabung membentuk seperti bola.
Jadi, pada struktur kuartener molekul protein di samping memiliki ikatan hidrogen, gaya van der Waals, dan antaraksi gugus nonpolar, juga terjadi antaraksi antar rantai protein baik melalui antaraksi polar, nonpolar, maupun van der Waals. Contoh dari struktur ini adalah molekul Hemoglobin, tersusun dari empat subunit rantai protein.
 
Pada buku Sukmanawati, W. 2009. Kimia 3 : Untuk SMA/ MA Kelas XII. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, p. 266
  
Efek Pengolahan Terhadap Protein
Dari semua proses pengolahan bahan pangan, yang paling sering digunakan adalah pemanasan. Pemanasan protein dapat menyebabkan terjadinya reaksi-reaksi baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan. Reaksi-reaksi tersebut diantaranya denaturasi, kehilangan aktivitas enzim, perubahan kelarutan dan hidrasi, perubahan warna, derivatisasi residu asam amino, cross-linking, pemutusan ikatan peptida, dan pembentukan senyawa yang secara sensori aktif. Reaksi ini dipengaruhi oleh suhu dan lama pemanasan, pH, adanya oksidator, antioksidan, radikal, dan senyawa aktif lainnya khususnya senyawa karbonil. Beberapa reaksi yang tidak diinginkan dapat dikurangi. Penstabil seperti polifosfat dan sitrat akan mengikat Ca2+, dan ini akan meningkatkan stabilitas panas protein whey pada pH netral. Laktosa yang terdapat pada whey pada konsentrasi yang cukup dapat melindungi protein dari denaturasi selama pengeringan semprot (spray drying).
a.    Denaturasi
Denaturasi protein merupakan suatu proses perubahan struktur molekul tanpa adanya pemutusan ikatan kovalen. Dalam proses ini, terjadi pemecahan ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, ikatan garam dan terbukanya lipatan molekul protein. Ada dua macam denaturasi, yaitu pengembangan rantai peptida dan pemecahan protein menjadi unit yang lebih kecil tanpa disertai pengembangan molekul ikatan. Ikatan yang dipengaruhi oleh proses denaturasi adalah:
1.   Ikatan Hidrogen
2.   Ikatan Hidrofobik
3.   Ikatan Ionik 
4.   Ikatan Intramolekuler
Denaturasi protein mengakibatkan turunnya kelarutan, peningkatan viskositas, hilangnya aktifitas biologi dan protein mudah diserang enzim proteolitik. Peningkatan vikositas pada protein yang terdenaturasi akan berpengaruh pada penurunan kelarutan di dalam cairan yang menyebabkan protein menjdi mudah mengendap. Denaturasi juga menyebabkan protein kehilangan karakteristik struktural dan beberapa kandungan senyawa di dalamnya, namun struktur utama protein seperti C, H, O dan N tidak akan berubah. Namun hal tersebut hanya terjadi pada sebagian kecil jenis protein.


Bila susunan ruang atau rantai polipeptida suatu molekuk protein berubah, maka dapat dikatakan protein tersebut terdenaturasi. Sebagian protein globular mudah mengalami denaturasi. Jika ikatan – ikatan yang membentuk konfigurasi molekul tersebut rusak, molekul akan mengembang. Kadang – kadang perubahan ini memang dikehendaki dalam pengolahan makanan, tetapi sering pula dianggap merugikan sehingga perlu dicegah.
Sisi merugikan dari denaturasi :
1.   Protein kehilangan aktivitas biologi
2.   Pengendapan protein
3.   Protein kehilangan beberapa sifat fungsional
Sisi menguntungkan dari denaturasi:
1.   Denaturasi panas pada inhibitor tripsin dalam legum dapat meningkatkan tingkat ketercernaan dan ketersediaan biologis protein legume
2.   Protein yang terdenaturasi sebagian lebih mudah dicerna, sifat pembentuk buih dan emulsi lebih baik daripada protein asli
3.   Denaturasi oleh panas merupakan prasyarat pembuatan gel protein yang dipicu panas
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan suatu protein mengalami denaturasi antara lain :
1.   pH
2.   Suhu Lingkungan
3.   Alkohol
4.   Aliran Listrik
5.   Agen Pereduksi
6.   Tekanan
7.   Senyawa Kimia
Macam-macam denaturasi protein :
1. Denaturasi Karena Asam Basa
Denaturasi protein dengan penambahan asam basa ditandai dengan peningkatan kekeruhan hingga terbentuk gumpalan pada saat mencapai pH isoelektris. pH isoelektris adalah keadaan saat protein memiliki muatan positif dan negatif yang sama (Anna, P., 1994). Dengan adanya muatan ionik maka asam dan basa akan merusak jembatan garam didalam protein tersebut. Denaturasi akibat asam / basa terjadi ketika adanya penambahan kadar asam atau basa pada garam protein yang dapat memutus kandungan struktur dari protein tersebut karena terjadi subtitusi ion negatif dan positif pada garam dengan ion positif dan negatif pada asam atau basa (Vladimir, 2007). Reaksi ini terjadi di dalam sistem pencernaan, saat asam lambung mengkoagulasi susu yang dikonsumsi.
2. Denaturasi Karena Logam Berat
Garam logam berat mendenaturasi protein sama dengan halnya dengan asam dan basa. Garam logam berat umumnya mengandung Hg+2, Pb+2, Ag+1Tl+1, Cd+2 dan logam lainnya dengan berat atom yang besar. Reaksi yang terjadi antara garam logam berat akan mengakibatkan terbentuknya garam protein – logam yang tidak larut (Ophart, C.E., 2003). Protein akan mengalami presipitasi bila bereaksi dengan ion logam. Pengendapan oleh ion positif (logam) diperlukan pH larutan di atas pI karena protein bermuatan negatif, pengendapan oleh ion negatif diperlukan pH larutan di bawah pI karena protein bermuatan positif. Ion-ion positif yang dapat mengendapkan protein adalah; Ag+, Ca++, Zn++, Hg++, Fe++, Cu++ dan Pb++, sedangkan ion-ion negatif yang dapat mengendapkan protein adalah; ion salisilat, triklorasetat, piktrat, tanat dan sulfosalisilat. Denaturasi akibat campuran logam berat pada protein, hal ini terjadi karena ikatan sulfur pada protein tertarik oleh ikatan logam berat sehingga proses denaturasi terjadi dengan adanya perubahan struktur kandungan senyawa pada protein tersebut saat ion pada protein bereaksi dengan ion logam berat yang tercampur didalamnya (Vladimir. 2007)
3. Denaturasi karena Panas
Denaturasi akibat panas menyebabkan molekul – molekul yang menyusun protein bergerak dengan sangat cepat sehingga sifat protein yaitu hidrofobik menjadi terbuka. Akibatnya, semakin panas, molekul akan bergerak semakin cepat dan memutus ikatan hidrogen di dalamnya (Vladimir, 2007). Panas dapat digunakan untuk mengacaukan ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik non polar. Hal ini terjadi karena suhu tinggi dapat meningkatkan energi kinetik dan menyebabkan molekul penyusun protein bergerak atau bergetar sangat cepat sehingga mengacaukan ikatan molekul tersebut. Denaturasi dengan suhu panas yang dilakukan pada buah-buahan akan mengakibatkan berkurangnya kadar air dan bertambahnya viskositas atau kekentalan kadar protein yang tertanam pada buah yang mengalami denaturasi akibat suhu panas (Vladimir, 2007). Pemanasan akan membuat protein bahan terdenaturasi sehingga kemampuan mengikat airnya menurun. Hal ini terjadi karena energi panas akan mengakibatkan terputusnya interaksi non-kovalen yang ada pada struktur alami protein tapi tidak memutuskan ikatan kovalennya yang berupa ikatan peptida. Proses ini biasanya berlangsung pada kisaran suhu yang sempit.
4. Denatursi karena alkohol
Alkohol juga dapat mendenaturasi protein. Alkohol seperti kita ketahui umumnya terdapat kadar 70% dan 95%. Alkohol 70% bisa masuk ke dinding sel dan dapat mendenaturasi protein di dalam sel. Sedangkan alkohol 95% mengkoagulasikan protein di luar dinding sel dan mencegah alkohol lain masuk ke dalam sel melalui dinding sel. Sehingga yang digunakan sebagai disinfektan adalah alkohol 70%. Alkohol mendenaturasi protein dengan memutuskan ikatan hidrogen intramolekul pada rantai samping protein. Ikatan hidrogen yang baru dapat terbentuk antara alkohol dan rantai samping protein tersebut.
5. Agen pereduksi merusak ikatan disulfida
Ikatan disulfida terbentuk dengan adanya oksidasi gugus sulfhidril pada sistein. Antara rantai protein yang berbeda yang sama-sama memiliki gugus sulfhidril akan membentuk ikatan disulfida kovalen yang sangat kuat. Agen pereduksi dapat memutuskan ikatan disulfida, dimana penambahan atom hidrogen sehingga membentuk gugus tiol; -SH.
b.   Reaksi Maillard
Reaksi antara protein dengan gula pereduksi merupakan sumber utama menurunnya nilai gizi protein pangan selama pengolahan dan penyimpanan. Reaksi maillard ini dapat terjadi pada waktu pembuatan (pembakaran) roti, produksi breakfast cereals (serpihan jagung, beras, gandum, dll), dan pemanasan daging terutama bila terdapat bahan pangan nabati. Pada pembakaran roti, kehilangan zat gizi yang cukup besar tersebut terutama terjadi pada bagian yang berwarna coklat (crust) karena terjadinya reaksi dengan gula pereduksi yang dibentuk selama proses fermentasi tetapi tidak habis digunakan oleh khamir dari ragi roti. Meskipun gula-gula nonreduksi (misalnya sukrosa) tidak bereaksi dengan protein pada suhu rendah, tetapi pada suhu tinggi ternyata dapat menimbulkan reaksi maillard, yang pada suhu tinggi terjadi pemecahan ikatan glikosidik dari sukrosa dan menghasilkan glukosa dan fruktosa. Contoh lain adalah pada pengolahan susu sapi dengan pemanasan karena susu merupakan bahan pangan berprotein tinggi yang juga mengandung gula pereduksi (laktosa) dalam jumlah tinggi.
c.    Pengolahan panas yang tinggi
Pada pengolahan dengan menggunakan panas yang tinggi, protein akan mengalami beberapa perubahan. Perubahan-perubahan ini termasuk rasemisasi, hidrolisis, desulfurasi, dan deamidasi. Kebanyakan perubahan kimia ini bersifat ireversibel, dan beberapa reaksi dapat menghasilkan senyawa toksik.
1.   Rasemisasi
Rasemisasi residu asam amino dapat mengakibatkan penurunan daya cerna protein karena kurang mampu dicerna oleh tubuh. Kerugian akan semakin besar apabila yang terasemisasi adalah asam amino esensial. Pemanasan protein pada pH alkali dapat merusak beberapa residu asam amino seperti Arg, Ser, Thr dan Lys. Arg terdekomposisi menjadi ornithine. Jika protein dipanaskan pada suhu sekitar 200oC, seperti yang terjadi pada permukaan bahan pangan yang mengalami pemanggangan, broiling, grilling, residu asam aminonya akan mengalami dekomposisi dan pirolisis. Beberapa hasil pirolisis yang diisolasi dari daging panggang ternyata bersifat sangat mutagenik. Yang paling bersifat mutagenik adalah dari pirolisis residu Trp dan Glu. Satu kelas komponen yaitu imodazo quinoline (IQ) merupakan hasil kondensasi kreatinin, gula dan beberapa asam amino tertentu seperti Gly, Thr, Al dan Lys, komponen ini juga toksik. Senyawa-senyawa toksik ini akan jauh berkurang apabila pengolahan tidak dilakukan secara berlebihan (suhu lebih rendah dan waktu yang lebih pendek).
2.   Hidrolisis protein
Hidrolisis protein merupakan proses pemutusan ikatan peptida dari protein menjadi komponen-komponen yang lebih kecil seperti pepton, peptida dan asam amino. Hidrolisis ikatan peptida akan menyebabkan beberapa perubahan pada protein, yaitu meningkatkan kelarutan karena bertambahnya kandungan NH3+ dan COO- dan berkurangnya berat molekul protein atau polipeptida, serta rusaknya struktur globular protein.
Waktu yang digunakan untuk hidrolisis pada ikatan peptida bergantung pada asam amino. Biasanya, ikatan peptida antara asam amino alifatik membutuhkan waktu yang sangat lama untuk diuraikan. Hidrolisis yang memakan waktu  24 jam pada suhu 110oC kurang mampu memecahkan ikatan peptida. Sedangkan hidrolisis yang memakan waktu 2-3 hari mampu menguraikan dengan sempurna isoleusin dan ikatan valin.
Ada empat cara untuk menghidrolisis protein:
1.   Hidrolisis Asam
Hidrolisis dengan menggunakan asam kuat anorganik, seperti HCl atau H2SO4 pekat (4-8 normal), lalu dipanaskan pada suhu mendidih atau dapat dilakukan dengan tekanan di atas satu atmosfer, selama beberapa jam. Akibat samping yang terjadi dengan hidrolisis asam ialah rusaknya beberapa asam amino (triptofan, sebagian serin dan threonin).
Cara lama: Protein dipanaskan dengan 6 N HCL selama 24 jam dengan suhu 110C
Cara cepat: Sampel protein diletakkan di tabung pada wadah tertutup yang berisi 6 N HCL dgn ruang kosong yang diisi oleh nitrogen. Wadah tersebut lalu diletakkan di oven selama 5-30 menit dengan suhu lebih dari 200C. Asam HCl akan terevaporasi dan dihidrolisasi oleh nitrogen.
2.   Hidrolisis Basa
Hidrolisis protein menggunakan basa merupakan proses pemecahan polipeptida dengan menggunakan basa / alkali kuat, seperti NaOH dan KOH pada suhu tinggi, selama beberapa jam, dengan tekanan di atas satu atmosfer. Namun serin dan threonin rusak dengan basa.
3.   Hidrolisis Enzimatik
Hidrolisis enzimatik dilakukan dengan mempergunakan enzim. Dapat digunakan satu jenis enzim saja, atau beberapa jenis enzim yang berbeda. Penambahan enzim perlu dilakukan pengaturan pada kondisi pH dan suhu optimum.
Dibandingkan dengan hidrolisis secara kimia (menggunakan asam atau basa), hidrolisis enzimatik lebih menguntungkan karena tidak mengakibatkan kerusakan asam amino dan asam-asam amino bebas serta peptida dengan rantai pendek yang dihasilkan lebih bervariasi, reaksi dapat dipercepat kira-kira 1012 sampai 1020, tingkat kehilangan asam amino esensial lebih rendah, biaya produksi relatif lebih murah dan menghasilkan komposisi asam amino tertentu terutama peptida rantai pendek (dipeptida dan tripeptida) yang mudah diabsorbsi oleh tubuh.
Salah satu cara lain untuk menghidrolisis kandungan protein dalam suatu bahan dapat menggunakan enzim proteolitik baik yang berasal dari bahan itu sendiri atau dengan penambahan enzim dari luar bahan. Enzim proteolitik yang ditambahkan dapat berasal dari hewan maupun dari tumbuhan. Menurut Reed (1975) enzim proteolitik atau enzim protease adalah enzim yang dapat memecah molekul-molekul protein dengan cara menghidrolisis ikatan peptida menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana seperti proteosa, pepton, polipeptida, dipeptida dan sejumlah asam-asam amino.
4.   Cross-Linking
Beberapa protein pangan mengandung cross-link intra- dan antarmolekul, contohnya adalah ikatan disulfida pada protein globular, di- dan trityrosine type cross-link pada protein serat seperti keratin, elastin dan kolagen.  Salah satu fungsi cross-link pada protein alami adalah supaya tidak mudah dipecah oleh proteolisis.  Pengolahan pangan, khususnya pada pH alkali, dapat menyebabkan pembentukan cross-link pada protein.  Pembentukan ikatan kovalen antara rantai polipeptida ini dapat menurunkan daya cerna dan ketersediaan biologisnya, khususnya yang melibatkan asam amino esensial. Lisinoalanin adalah cross-link utama yang umum ditemukan pada protein yang diperlakukan pada kondisi alkali, hal ini terjadi karena ketersediaan residu lisil yang banyak terdapat dalam bahan pangan.  Pada kondisi pengolahan yang normal, pembentukan lisinoalanin hanya sedikit, jadi tidak terlalu merugikan.
5.   Oksidasi  
Keberadaan senyawa pengoksidasi dalam bahan pangan dapat berasal dari aditif seperti hidrogen peroksida dan benzoil peroksida yang ditambahkan sebagai bakterisidal pada susu atau pemutih pada tepung, dapat pula berasal dari radikal bebas yang terbentuk selama pengolahan (peroksidasi lipid, fotooksidasi riboflavin, reaksi Maillard). Selain itu, polifenol yang banyak terdapat pada bahan yang berasal dari tanaman dapat dioksidasi oleh oksigen pada pH netral atau alkali membentuk quinon sehingga terbentuk peroksida. Senyawa-senyawa pengoksidasi ini dapat menyebabkan oksidasi beberapa residu asam amino dan menyebabkan polimerisasi protein.  Residu asam amino yang rentan terhadap reaksi oksidasi adalah Met, Cys/cystine, Trp dan His, dan yang agak rentan yaitu Tyr. Oksidasi lipid tidak jenuh menghasilkan radikal alkoksi dan peroksi.  Radikal-radikal yang terbentuk ini dapat bereaksi dengan protein, membentuk radikal bebas lipidprotein. Radikal bebas lipid-protein terkonyugasi ini selanjutnya dapat mengalami polimerisasi cross-linking protein.  Sebagai tambahan, radikal bebas lipid dapat menginduksi pembentukan radikal bebas pada rantai samping sistein dan histidin yang kemudian akan mengalami reaksi cross-linking dan polimerisasi. Peroksida lipid dalam bahan pangan akan terdekomposisi menghasilkan aldehid, keton dan khususnya malonaldehid.  Senyawa-senyawa karbonil ini akan bereaksi dengan gugus amino protein melalui reaksi amino-karbonil dan pembentukan basa Schiff. Reaksi malonaldehid dengan rantai samping lisil akan mengakibatkan crosslinking dan polimerisasi protein. Reaksi ini berakibat pada turunnya nilai gizi protein dan dapat menimbulkan off-flavour.  
6.   Reaksi Dengan Nitrit  
Reaksi nitrit dengan amin sekunder, dan pada beberapa kasus dengan amin primer dan tersier, dapat membentuk N-nitrosoamin, senyawa yang bersifat karsinogenik.  Nitrit biasanya ditambahkan pada produk daging untuk mempertahankan warna dan mencegah pertumbuhan bakteri.  Asam amino (atau residu) yang terlibat dalam reaksi ini terutama Pro, His, Trp.  Arg dan Cys juga dapat bereaksi dengan nitrit.  Reaksi ini terutama terjadi pada suasana asam dan suhu tinggi.  Amin sekunder yang dihasilkan dari reaksi Maillard, seperti produk Amadori dan Heyns, juga dapat bereaksi dengan nitrit. Pembentukan N-nitrosoamin pada pemasakan, grilling dan broiling daging telah menjadi perhatian karena dampaknya yang dapat menghasilkan senyawa karsinogenik.  Usaha untuk mengurangi pembentukan senyawa karsinogenik ini dapat dilakukan dengan penambahan aditif lain seperti asam askorbat dan eritorbat. 
Metode Analisa Protein secara kuantitatif :
1.   Metode Lowry
Metode Lowry merupakan pengembangan dari metode Biuret. Dalam metode ini terlibat 2 reaksi. Awalnya, kompleks Cu(II)-protein akan terbentuk sebagaimana metode biuret, yang dalam suasana alkalis Cu(II) akan tereduksi menjadi Cu(I). Ion Cu+ kemudian akan mereduksi reagen Folin-Ciocalteu, kompleks phosphomolibdat - phosphotungstat, menghasilkan heteropoly -molybdenum blue akibat reaksi oksidasi gugus aromatik (rantai samping asam amino) terkatalis Cu, yang memberikan warna biru intensif yang dapat dideteksi secara kolorimetri. Kekuatan warna biru terutama bergantung pada kandungan residu tryptophan dan tyrosine-nya. Keuntungan metode Lowry adalah lebih sensitif (100 kali) daripada metode Biuret sehingga memerlukan sampel protein yang lebih sedikit. Batas deteksinya berkisar pada konsentrasi 0.01 mg/mL. Namun metode Lowry lebih banyak interferensinya akibat kesensitifannya (Lowry, dkk, 1951).
Beberapa zat yang bisa mengganggu penetapan kadar protein dengan metode Lowry ini, diantaranya buffer, asam nuklet, gula atau karbohidrat, deterjen, gliserol, Tricine, EDTA, Tris, senyawa-senyawa kalium, sulfhidril, disulfida, fenolat, asam urat, guanin,xanthine, magnesium, dan kalsium. Interferensi agen-agen ini dapat diminimalkan dengan menghilangkan interferensi tersebut. Oleh karena itu dianjurkan untuk menggunakan blanko untuk mengkoreksi absorbansi. Interferensi yang disebabkan oleh deterjen, sukrosa dan EDTA dapat dieliminasi dengan penambahan SDS atau melakukan preparasi sampel dengan pengendapan protein (Lowry dkk 1951).
Metode Lowry-Folin hanya dapat mengukur molekul peptida pendek dan tidak dapat mengukur molekul peptida panjang. Prinsip kerja metode Lowry adalah reduksi Cu2+ (reagen Lowry B) menjadi Cu+ oleh tirosin, triptofan, dan sistein yang terdapat dalam protein. Ion Cu+ bersama dengan fosfotungstat dan fosfomolibdat (reagen Lowry E) membentuk warna biru, sehingga dapat menyerap cahaya (Lowry dkk 1951).
2.   Spektrofotometri
Spektrofotometer adalah alat untuk mengukur transmitan atau absorban suatu sampel sebagai fungsi panjang gelombang. Sedangkan pengukuran menggunakan spektrofotometer ini, metoda yang digunakan sering disebut dengan spektrofotometri. Spektrofotometer dapat mengukur serapan di daerah tampak, UV (200-380 nm) maupun IR (> 750 nm) dan menggunakan sumber sinar yang berbeda pada masing-masing daerah (sinar tampak, UV, IR). Monokromator pada spektrofotometer menggunakan kisi atau prisma yang daya resolusinya lebih baik sedangkan detektornya menggunakan tabung penggandaan foton atau fototube (Yoky, 2009).
Komponen utama dari spektrofotometer, yaitu sumber cahaya, pengatur Intensitas, monokromator, kuvet, detektor, penguat (amplifier), dan indikator.Spektrofotometri dapat dianggap sebagai perluasan suatu pemeriksaan visual dengan studi yang lebih mendalam dari absorbsi energi. Absorbsi radiasi oleh suatu sampel diukur pada berbagai panjang gelombangdan dialirkan oleh suatu perkam untuk menghasilkan spektrum tertentu yang khas untuk komponen yang berbeda (Yoky, 2009).
3.   Metode Kjeldahl
  Metode Kjeldahl merupakan salah satu dari uji kadar protein yang memiliki tingkat kepercayaan lebih tinggi dalam menentukan kandungan nirogen (N) dalam susu. Kelebihan metode ini adalah sederhana, akurat, dan universal juga mempunyai kebolehulangan (Reproducibility) yang cukup baik, akan tetapi metode ini bukannya tidak memiliki kekurangan. Kekurangan metode ini adalah memakan waktu lama (Time Consuming), membutuhkan biaya besar dan ketermpilan tekhnis tinggi (Juiati dan Sumardi, 1981)
4.   Metode Turbodimetri
Turbidimetri merupakan sifat optik akibat dispersi sinar dan dapat dinyatakan sebagai perbandingan cahaya yang dipantulkan terhadap cahaya yang tiba. Intensitas cahaya yang dipantulkan oleh suatu suspensi adalah fungsi konsentrasi jika kondisi-kondisi lainnya konstan. Metode pengukuran turbiditas dapat dikelompokkan dalam tiga golongan. Yaitu pengukuran perbandingan intensitas cahaya yang dihamburkan terhadap intensitas yang datang; pengukuran efek ekstingsi, yaitu kedalaman di mana cahaya yang mulai tidak tampak di dalam lappisan medium yang keruh. Instrumen pengukuran perbandingan tyndall disebut sebagai tyndall meter. Dalam instrumen ini intensitas diukur secara langsung. Sedangkan pada nefelometer, intensitas cahaya diukur dengan larutan standar. Turbidineter mliputi pengukuran cahaya yang diteruskan. Turbiditas berbandinglurus terhadap konsentrasi dan ketebalan, tetapi turbiditas tergantung juga pada warna. Untuk partikel yang lebih kecil, rasio tyndall sebanding dengan pangkat tiga dari ukuran partikel dan berbanding terbalik terhadap pangkat empat panjang gelombang (Khopkhar,2003 : 7)
5.   Metode Titrasi Formol
Larutan protein dinetralkan dengan basa (NaOH) lalu ditambahkan formalin akan membentuk dimethilol. Dengan terbentuknya dimethilol ini berarti gugus aminonya sudah terikat dan tidak akan mempengaruhi reaksi antara asam dengan basa NaOH sehingga akhir titrasi dapat diakhiri dengan tepat. Indikator yang digunakan adalah p.p., akhir titrasi bila tepat terjadi perubahan warna menjadi merah muda yang tidak hilang dalam 30 detik.
Terimakasih  semoga blog kami bermanfaat :)


 REFRENSI :
 
Sukmanawati, W. 2009. Kimia 3 : Untuk SMA/ MA Kelas XII. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, p. 266.
 Sunarya, Y. dan A. Setiabudi. 2009. Mudah dan Aktif Belajar Kimia 3 : Untuk Kelas XII Sekolah Menengah Atas / Madrasah Aliyah. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, p. 298.
F.G Winarno.1982. Kimia Pangan dan Gizi : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
 http://perpustakaancyber.blogspot.com/ Diakses : 5 Maret 2015 pukul 14:10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar